Ngawi, Pojok Kiri..- "Pernahkah kita bertekad
pada diri sendiri untuk menjadi warga negara yang baik? Jika belum, mari mulai
hari ini kita niatkan harapan baik tersebut. Menjadi "warga negara yang
baik" lebih dari sekadar menjadi "individu yang baik". Sebab,
dengan menjadi warga negara, kita sesungguhnya tak hanya sedang memikirkan
kepentingan diri sendiri melainkan juga kepentingan bersama. Dari sinilah, kita
beranjak dari cuma menjadi makhluk individual, menjadi makhluk sosial.
Hal ini di sampaikan oleh KH
Ahmad Ulinnuha Rozi Ketua PCNU Ngawi sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren
Temulus saat Pojok Kiri bertandang ke kediaman Beliu di Pondok Pesantren
Temulus, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi, Jum'at (02/11).
Menyinggung tentang situasi yang
terjadi di tahun politik sekarang ini KH
Ahmad Ulinnuha Rozi, menuturkan, Contoh penerapan menjadi warga negara yang
baik bisa kita temui dalam kehidupan sehari-hari baik itu di rumah, jalan raya,
masjid, kantor, pasar, media sosial, dan lain sebagainya. Di jalan raya,
misalnya, warga negara yang baik tidak akan menerobos lampu merah. Di dunia
maya, warga negara yang baik tidak mudah mengumbar kata-kata kebencian atau
kabar yang belum jelas kebenarannya. Di masjid, warga negara yang baik lebih
suka membangun ukhuwah (persaudaraan) ketimbang memojokkan orang/golongan lain.
Mengapa? Karena warga negara yang baik akan selalu memikirkan kepentingan yang
luas daripada kepentingan diri sendiri atau kelompoknya sendiri. Momen yang
sarat dengan hiruk pikuk politik seperti sekarang ini adalah tepat bagi kita
untuk menghidupkan kembali kesadaran untuk menjadi warga negara yang baik. Hal
tersebut tidak lepas dari kenyataan bahwa politik kerapkali menjerumuskan
sebagian orang ke dalam perbuatan tercela (akhlaq madzmûmah): permusuhan, adu
domba, fitnah, dengki, riya', risywah (suap), bohong, dan lain sebagainya.
Menurut KH Ahmad Ulinnuha Rozi,
Islam bukan agama yang anti-politik. Bahkan, karena terkait dengan persoalan
kepemimpinan, politik menjadi hal yang niscaya.
Namun demikian, politik dalam
Islam tak pernah menjadi tujuan akhir (ghâyah). Melainkan wasîlah, perantara
menuju tercapainya tujuan sebuah negara, yakni kemaslahatan bersama. Negara tak
hanya wajib memberi jaminan keamanan dan kebebasan bagi tiap orang untuk
beribadah kepada Allah tapi juga mesti punya iktikad sungguh-sungguh
menyejahterakan warganya serta menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Dengan bahasa lain, politik
sesungguhnya merupakan sesuatu yang baik, atau paling tidak, netral. Hanya
saja, ia nama baiknya sering ternoda karena tingkat sebagian elite politik yang
tak mengindahkan etika yang digariskan syariat. Dari sinilah, bencana moral
lantas meluas ke masyarakat akibat provokasi, mobilisasi, dan politisasi setiap
lini oleh kalangan politisi. Masyarakat pun kerap tergiring ke arah
tindakan-tindakan yang tak selaras dengan nilai-nilai Islam," ujar KH
Ahmad Ulinnuha Rozi.
KH Ahmad Ulinnuha Rozi
menambahkan, Dalam konteks ini, paling tidak ada tiga bahaya yang perlu
diwaspadai saat musim pemilihan umum atau pergantian kekuasaan datang. Pertama,
mengorbankan kepentingan bersama untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok
secara terbatas.
Fanatisme dukungan yang diberikan
kepada calon tertentu acapkali menyeret seseorang hanya berpikir pada lingkup
yang sangat sempit. Pembelaan dilakukan secara mati-matian kepada calon yang
didukung, sementara di sisi lain permusuhan dialamatkan secara berlebihan
kepada lawan politiknya. Situasi inilah yang kadang membuat orang gelap mata
untuk melakukan serangan-serangan secara verbal, baik di media sosial ataupun
kehidupan sehari-hari, tak hanya kepada sang calon pemimpin tapi juga para
pendukungnya. Caci maki, saling hujat, serta kata-kata kotor bertebaran di
mana-mana, tanpa ingat bahwa sebelum terlibat dalam politik dukung-mendukung,
mereka lebih dulu adalah saudara dalam satu rumah bernama “Indonesia”.
Fanatisme dukungan yang
berlebihan membuat banyak orang lupa bahwa masing-masing mereka sedang
mengorbankan persatuan dan perdamaian, untuk tujuan jangka pendek politik.
Akhlak Islam yang amat menjunjung tinggi persatuan dan perdamaian pun
ditinggalkan, demi pilihan politik yang bisa jadi benar bisa jadi salah.
Padahal, kerukunan adalah kepentingan bersama, sementara urusan
dukung-mendukung adalah soal aspirasi pribadi atau kelompok. Jangan sampai kita
terperdaya, sehingga yang terakhir ini lebih prioritas dibanding yang pertama.
Bahaya kedua adalah bersikap
tidak adil (objektif) kepada orang lain karena diliputi rasa benci. Kondisi ini
lazimnya bermula dari tumbuhnya kebencian berlebihan kepada sesama. Penyakit
hati satu ini merupakan dampak dari persepsi negatif kepada seseorang yang
terus menumpuk. Opini buruk tentang seorang calon pemimpin yang diterima
terus-menerus tanpa klarifikasi, bisa mengubah orang yang semula biasa-biasa
saja menjadi amat membenci si calon tersebut. Kebencian yang terus dipupuk akan
meningkat statusnya kepada permusuhan. Dimulai dari membenci, kemudian
memusuhi. Calon pemimpin yang tak disukai dilihat dalam citra yang selalu
negatif. Sebaliknya, calon pemimpin yang didukung dielu-elukan, nyaris tanpa
kritik sama sekali.
Situasi semakin parah ketika
kebencian meningkat levelnya dari membenci individu kepada membenci kelompok,
dari membenci seorang calon pemimpin kepada membenci semua orang yang
mendukungnya. Pertikaianpun menjadi kian ramai. Masing-masing pendukung
menunggu atau mencari-cari kesalahan lawan politik untuk kemudian diserang
habis-habisan, sementara kelemahan sang idola tak pernah disinggung—bahkan
dicitrakan seolah-olah baik seratus persen.
"Padahal, dalam Islam, tak
ada manusia yang selalu jahat dan salah seperti setan, sebagaimana tak ada pula
manusia yang selalu baik dan benar selayak malaikat. Sebagai manusia, politisi
adalah orang-orang yang berpotensi keliru. Bahkan, untuk calon dengan gagasan
cemerlang pun, tak ada jaminan pasti bahwa ia selalu mulus dalam melaksanakan
program-programnya kelak. Mempunyai pilihan politik berdasarkan kriteria ideal
adalah hak dan harus, tapi memutlakkan manusia-manusia politik itu sebagai
“setan” yang mesti dibenci setengah mati adalah tak masuk di akal," KH
Ahmad Ulinnuha Rozi. (day)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar