Ngawi, Pojok Kiri.- “Pelajarilah sejarah perjuanganmu
sendiri yang sudah lampau, agar tidak tergelincir dalam perjuanganmu yang akan
datang” demikian kata Bung Karno dalam pidato kepresidenan pada Tahun
1966 sambil mengutip pujangga skotlandia, Thomas Carlyle. Jika kita
menghayati pesan Bung Karno ini maka budaya sebagai identitas sebuah bangsa
adalah penting artinya. Para generasi muda bangsa setidaknya semakin semangat
untuk memelihara kebudayaan asli Indonesia ditengah gerusan budaya yang
berdatangan dari luar. Dan, Kabupaten ngawi sebagai sebuah daerah dibawah NKRI
yang kaya akan budaya juga berusaha keras ngugemikalimat ungkapan
Bapak Proklamator tersebut.
Sebuah prosesi tahunan Pagelaran
Budaya yang diselenggarakan di Kabupaten Ngawi bertajuk “Ganti Langse” di
selenggarakan di Palenggahan Agung Srigati di Alas Ketonggo, Desa Babadan,
Kecamatan Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Acara budaya di lakukan setiap
penanggalan 15 Muharram 1439 Hijriah (Bulan Suro) tepat disaat bulan purnama.
Pagelaran Budaya Ganti Langse selama dua tahun terakhir berubah warna dengan
sentuhan berbeda tanpa meninggalkan budaya aslinya (originalitas budaya). Ganti
Langse yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Ngawi menjadikan
acara tradisi tahunan ini lebih meriah dan semarak. Dan ini menjadi kegiatan
rutin dari tahun ke tahun sebagai sebuah persembahan originilitas budaya Ngawi
untuk negeri.
Kini, prosesi tradisi budaya
Ganti Langse disajikan cukup fenomenal spetakuler sejak tahun 2017. Acara
dengan aneka ragam suguhan budaya yang merakyat mulai pertunjukan
ketoprak tradisonal, kirab gunungan atau sedekah bumi disusul ruwatan
massal berlanjut pada pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Tetapi pada tema
utamanya budaya tersebut tidak lain adalah Ganti Langse yang berupa
digantikanya kain mori penutup Palenggahan Agung Srigati Alas Ketonggo.
Acara ketoprak tradisional oleh
Puspo Budoyo asuhan Toni Sayoko Ngawi di mulai dari pukul 21.00 WIB sampai
dengan pukul 03.00 WIB, yang sebelumnya di awali oleh iringan karawitan dari
kaum ibu desa setempat menggebrak suasana malam menjadi meriah. Ketoprak
tradisional yang mengambil lakon Prabu Brawijaya V mementaskan
peran yang apik penuh dengan pesan makna tentang sebuah
perjalanan seorang Raja Kerajaan Majapahit yang melakukan perjalanan spiritual
hingga sampai di Bumi Srigati Alas Ketonggo Ngawi. Dan, ditempat inilah Prabu
Brawijaya V memulai perjalanan hidupnya meninggalkan kehidupan materi dunia
untuk menuju ruang rohani yang lebih tinggi. Proses pilihan hidup Prabu
Brawijaya V ini di awali dengan penanggalan atribut raja dan penyucian diri di
kali tempuk (titik bertemunya dua sungai di Alas Ketonggo) dilanjutkan berdoa
kepada Tuhan Yang Maha Esa di punden Krepyak Syech Dombo yang kemudian beliau
mendapat petunjuk untuk naik secara Islam ke puncak Gunung lawu. Akhirnya Prabu
Brawijaya V berganti nama (bergelar) menjadi Sunan Lawu.
Prosesi Ganti Langse adalah adat
budaya berupa ganti selambu mori putih yang difungsikan sebagai
penutup Palenggahan Agung Srigati di Alas Ketonggo, Desa Babadan, Kecamatan
Paron, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, sebagai tradisi tahunan setiap bulan
Muharram (Bulan Suro). Tradisi ini digelar secara khidmat penuh penghayatan
diawali dengan penyerahan kain selambu mori warna putih bersih sepanjang 15
meter oleh Suyitno selaku juru kunci Alas Ketonggo kepada Bupati Ngawi Budi
Sulistyono dan diserahkan kembali ke Kepala Desa (Kades) Babadan Joko Setiyono
didampingi para pejabat setempat, Senin, (24/09). Prosesi penyerahan selambu
mori sendiri diiringi sebuah Tari Srigati yang dilakukan 8 penari yang masih
perawan, lekat dengan sebuah terciptanya tari yang indah, luwes dan anggun pada
saat prosesi tradisi dilakukan. Ganti Langse dilakukan oleh para
tokoh masyarakat dalam hal ini para perangkat Desa Babadan kurang lebih selama
15 menit. Kemudian Langse (kain mori) yang sudah diganti diserahkan
kembali kepada Suyitno selaku juru kunci Palenggahan Agung Srigati untuk
dibagikan kepada warga masyarakat.
Setelah Prosesi Ganti Langse,
acara dilanjutkan dengan acara bancaan atau acara
syukuran selamatan berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang dipimpin oleh
pemangku adat setempat. Dalam bancaan ini dihidangkan berbagai
nasi tumpeng beserta lauk pauk, jajanan pasar, bubur sengkolo, bubur merah
putih, serta aneka ragam polo pendem dan buah buahan. Sedangkan jajanan pasar
yang dihidangkan dikenal dengan jajanan pasar pitu (tujuh
jenis jajanan) yang mengandung filosofi sebuah harapan pitulungan atau
harapan pertolongan dari Tuhan Yang Maha Esa.
“Sejak dua tahun lalu Ganti
Langse ini tidak sekedar proses pergantian kain mori dari yang lama dengan yang
baru. Tetapi kita kemas yang lebih menarik lagi,” terang Sulistyanto Kasi
Kebudayaan Disparpora Ngawi yang juga sekaligus Ketua Panitia Penyelenggara,
Senin, (24/09).
“Tujuannya tidak lain untuk
melestarikan tradisi budaya dan menarik pengunjung atau wisatawan lokal maupun
asing. Sekaligus memperkenalkan budaya Ganti Langse di Palenggahan Agung
Srigati Alas Ketonggo menjadi salah satu destinasi wisata sekaligus mengeksplorasi
budaya di Kabupaten Ngawi. Penyelenggaraan Pagelaran Budaya Ganti Langse ini di
biayai dari dana yang bersumber dari PAPBD 2018 Kabupaten Ngawi plus anggaran
desa setempat (Desa Babadan) serta bantuan warga masyarakat. Pagelaran Budaya
Ganti Langse ini langsung di support Pemkab Ngawi yang
bertujuan untuk melestarikan budaya tradisional skaligus meningkatkan
perekonomian masyarakat sekitar Alas Ketonggo,“ Terang Rahmat Didik Purwanto
(Kepala Disparpora Ngawi), Senin, (24/09).
Ditempat yang sama, Bupati Ngawi
Budi Sulistyono juga mengharapkan tradisi budaya Ganti Langse akan menjadi
mercu suarnya budaya Ngawi. Sama halnya dengan tradisi budaya yang digelar di
daerah lain seperti tradisi Maulud di Solo maupun Grebek Suro di Ponorogo.
Untuk kedua kalinya ini tandas
Kanang, digelar ruwatan masal gratis yang diikuti puluhan orang dan sedekah
bumi berupa gunungan yang diarak oleh ratusan warga masyarakat dari pinggiran
desa setempat. Dan tradisi Ganti Langse akan dijadikan agenda tahunan sekaligus
salah satu budaya yang paten dari Ngawi.
“Kita berharap Ganti Langse ini
menjadi salah satu budaya yang bisa dipatenkan. Dan akan menjadi tradisi
tahunan sebagai bukti bahwa Ngawi ini kaya akan budaya,” pungkasnya.
Pada akhirnya, prosesi Pagelaran
Budaya Ganti Langse selama tiga hari penuh diselenggarakan dari Tanggal 22-24
September 2018 (penanggalan jawa islam 14-16 Muharram 1439 H) berjalan semarak
gebyar sukses dan spektakuler ditutup dengan pagelaran wayang kulit semalam
suntuk di Bumi Srigati Alas Ketonggo Kabupaten Ngawi. (ADV Diskominfo Kab
Ngawi/day)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar